ASPEK KONDISIONALITAS AJARAN AL-QUR’AN
OLEH : WARDATUL ILMIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan syari’ah tidak dalam bentuk hukum siap pakai. Al-Qur’an dan Hadits merupakan bahan hukum (mashaadir syar’iyyah). Untuk mengolah bahan-bahan hukum tersebut menjadi hukum syari’ah, Allah SWT melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada umat (ulama) sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Para ulama kemudian melakukan ijtihad.
Teks Al-Qur’an dan Hadits adalah bagian dari ajaran agama. Adapun pemahaman (interpretasi) seseorang terhadap teks-teks tersebut belum tentu merupakan bagian dari agama kecuali pemahaman tersebut diujipublikkan melalui sebuah proses yang disebut ijma’. Apabila mayoritas (jumhur) ulama menyatakan, pemahaman tersebut bersih dari unsur kesesatan, maka pemahaman tersebut mendapatkan legitimasi agama dan menjadi acuan hukum.
Dr Manna 'Al Qathan yang menyatakan bahwa Al-Qur'an merupakan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam hidup dan kehidupan manusia. Dalam Al-Qur'an diungkapkan garis-garis besar dan pokok kehidupan masa lampau, masa kini, dan masa mendatang. Dalam Al-Qur'an secara tegas telah diajarkan bagaimana seharusnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, kriteria antara yang baik dan yang buruk, hidup sesudah mati, soal surga, neraka dan macam-macam soal yang ghaib, yang tidak dapat dijangkau oleh rasio dan kecerdasan otak manusia.
Demikian pula Al-Qur'an memuat ilmu-ilmu yang berkenaan dengan soal-soal kemasyarakatan, misalkan hubungan antara suami istri, hubungan kekeluargaan soal warisan, masalah dagang dan jual beli, hukum perdata, pidana, metode pendidikan, sistem pemerintahan, masalah hubungan kerja dan perburuhan, penggunaan kekayaan alam, terutama untuk kepentingan pembangunan umat secara keseluruhan.
Untuk itu, idealnya masyarakat Islam mau dan mampu mengkaji, menganalisis ajaran-ajaran Al-Qur'an secara aplikatif, dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan beragama.
Walhasil Al-Qur'an merupakan khazanah yang sangat berharga dan memiliki nilai sakral dan agung sehingga mau tidak mau umatnya wajib untuk senantiasa mengkaji, menganalisis, menghayati secara mendalam yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,
Al-Qur'an selalu aktual dan sesuai dengan perkembangan pemikiran, sikap dan prilaku umat manusia, sehingga tiada henti-hentinya umat Islam dianjurkan untuk membaca, mengkaji, menganalisis ayat-ayat Al-Qur'an secara detail. Seiring dengan lajunya pembangunan bangsa dan didorong oleh era reformasi, umat Islam hendaknya memiliki sikap yang dinamis dan konstruktif.
Kondisi umat islam dewasa ini menuntut ijtihad para ulama yang fleksibel sesuai dengan tuntutan zaman, agar tidak terjadi persepsi ketidak konsistenan Al-Qur’an dengan tuntutan zaman, juga agar umat islam tidak terlalu mempermudah dalam memutuskan suatu hukum, islam memang mudah tapi jangan dipermudah.
B. PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH
Dari latar belakang masalah yang penulis paparkan diatas, maka perumusan maslahnya adalah :
1. Bagaimana hakikat dari kondisionalitas ajaran al-qur’an ?
2. Aspek apa yang termasuk pada kondisionalitas dalam al-qur’an ?
3. Bagaimana seharusnya umat muslim menerapkan hukum syari’ah ?
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan pembelajarannya adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Bagaimana hakikat dari kondisionalitas ajaran al-qur’an ?
2. Untuk mengetahui Aspek apa yang termasuk pada kondisionalitas dalam al-qur’an ?
3. Untuk mengetahui Bagaimana seharusnya umat muslim menerapkan hukum syari’ah ?
BAB II
ASPEK KONDISIONALITAS AJARAN AL-QUR’AN
A. PEBGERTIAN ASPEK KONDISIONALITAS AJARAN AL-QUR’AN
Aspek adalah sudut pandang (terhadap suatu hal / peristiwa), atau bisa juga diartikan pandangan terhadap bagaimana terjadinya suatau peristiwa dari permulaan sampai akhirnya.[1] Kondisionalitas berasal dari kata kondisi yang artinya keadaan, sedangkan ajaran adalah petunjuk, dan Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang berisi firman-firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, difahami dan damalkan sebagai petunjuk/pedoman hidup bagi umat manusia.[2]
Kondisionalitas dapat pula diartikan sebagai fleksibelitas, karena keduanya menuntut kepada perumusan masalah berdasarkan ruang dan waktu atau sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada suatu waktu. Fleksibelitas berarti kelenturan atau kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan yang selalu berubah-ubah dan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.[3]
Jadi yang dimaksud dengan aspek kondisionalitas ajaran Al-Qur’an adalah bagaimana Al-Qur’an menyikapi fenomena masyarakat secara bijaksana sesuai dengan ruang dan waktu.
Syari’at islam mengatur masalah Aqidah, Ibadah, Akhlak, dan Muamalat. Tiga hal pertama dijelaskan secara jelas dan tegas. Adapun muamalat dijelaskan secara umum sehingga hukumnya bisa berubah-ubah sesuai kondisi dan waktu[4].
Menurut penulis selain persolan Aqidah semua aspek bisa jadi fleksibel dalam pelaksanaannya, meskipun sudah ada aturan atau tatanan berkaitan hal tersebut, karena ayat yang terkandung dalam al-qur’an itu pada hakikatnya bersifat universal, dan kondisionalitas itu terletak pada penerapannya. Dan contoh dari kondisionaliotas dalam segi ibadah adalah : Sholat idul fitri di Los Angles, Amerika Serikat. Di kota ini, yakni di Islamic center nya, sholat idul fitri di lakukan secara bergiliran, ada yang sholat jan 07.00 dan ada yang jam 09.00 di tempat yang sama. Sebab kalau semu dating pada waktu yang besamaan, tempat parkirnya tidak cukup, karena setiap jamaah yang dating umumnya membawa kendaraan karena cukup jauh dari kediamannya. Pertanyaannya, sah kah sholat idul fitri secara bergantian ? jawabannya, sah ! alasannya, bahwa waktu sholat idul fitri adalah waktu dhuha. Jadi sepanjang masih pada waktu dhuha shalat tersebut hukumnya sah. Di Indonesia belum ada kebutuhan untuk itu, karena lahan parker masih luas dan memadai.[5]
Ajaran Al-Qur’an harus tetap dibumikandengan mencontoh metode enkulturasi yang telah dipraktikkan al-qur’an sendiri. Hal ini dilakukan dengan menemuka nilai fundamental dari ajaran tersebutdan mempertimbangkan metode ijtihad yang di praktikkan oleh para ulama sebelumnya.[6] Ijtihad dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul dan memerlukan kepastian hukumdi dalamnya.
B. PENTINGNYA KONSITENSI dan FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM
Allah swt menginginkan islam dijadikan panduan atau landasan hukum pertama dan terutama bagi seluruh manusia, Firman Allah swt:
!$tBur y7»oYù=y™ö‘r& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽ�ϱo0 #\�ƒÉ‹tRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. (QS Saba :28)[7]
Dari ayat tersebut diketahui bahwa hukum Islam berlandaskan antara ketidakberubahan dan kelenturan yang menghasilkan hukum yang bersifat umum sekaligus memiliki kaidah-kaidah yang terperinci, yang membuka seluas-luasnya pintu ijtihad (upay menyimpulkan hokum dari sumbernya yang sejati, yakni Al-Qur’an dan hadits) sepanjang masa, sebagai upaya untuk menerapkan hukum islam dalam berbagai persoalan yang muncul.
Fleksibelitas yang meniscayakan kedinamisan tersebut pada gilirannya memungkinkan hukum Islam memberikan jalan keluar bagi setiap persoalan yang muncul dari waktu kewaktu, serta menjadikan mampu menciptakan dan mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Sementara konsistensinya menjadikan masyarakat mampu membentengi dirinya dari pengaruh pelbagai factor perusak yang berasal dari masyarakat atau komunitas lain.
Konsistensi hukum islam akan memperkokoh urat nadi umat islam, mendorongnya untuk lebih banyak mengabdi (khidmat) serta membangun hubungan yang harmonis dan kokoh antar sesama umat muslim.
Sementara kedinamisan atau kelenturan hukumnya membuat masyarakat mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan, tantangan, perubahan dan perkembangan zaman, tanpa menghilangkan karakteristik dan posisi yang khas yang dimilikinya. Penjelasan prihal nilai penting dan menentukan dari konsistensi sebuah system, serta sikap individu dan masyarakat. Berikut adalah gambarannya:
1. Sikap konsisten merupakan ihwal penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, sikap tersebut harus selalu mengiringi setiap gerak atau prilaku manusia. Sikap ini juga sangat terkait dengan hidayah (petunjuk). Terutama, tatkala menghadapi suatu persoalan atau sejenisnya. Dengan sikap tersebut, manusia akan meraih kebaikan.
2. Sikap konsisten terhadap hokum. Yaiyu, terus menerus menjadikan hokum Islam sebagai rujukan dalam menghadapi segala persoalan yang muncul dalam kehidupannya.
3. Sikap konsisten tersebut merupakan benteng pertahanan masyarakat dalam menangkal serangan budaya (yang sudah tercemar) yang dilancarkan orang-orang barat. Saat akidah tidak lagi menjadi pegangan, nscaya berakhir sudah segalanya dan kehidupan masyarakat akan anjlok hingga ke titik hadir (yang terendah). Dalam keadaan demikian, tak ada yang berkuasa kecuali para pecundang yang mengenakan jubah kezaliman.
4. Sikap konsisten menghidupkan kedamaian dan ketentraman dalam hati kaum muslim.
Tidak diragukan lagi, kehidupan masyarakat yang tidak berpegang pada hokum yang bersumber dari Al-Qur’an, akan selalu dibayang-bayangi guncangan yang menakutkan, serta dipenuhi keraguan dan keresahan yang berujung pada kehancuran. Inilah kenyataan yang melanda kebanyakan masyarakat di benua Eropa. Sebaliknya hukum Islam justru menghalau dan menghapuskan semua itu.
I. Pandangan Al-Qur’an
Orang-orang yang mengkaji Al-Qur’an akan menemukan berbagai dalil yang menunjukan keagungan hukum Al-Qur’an dalam ayat-ayatnya yang memadukan konsistensi dan flesibelitas (kondisionslitas)
Dibawah ini adalah beberapa contohnya:
1. Konsisten dalam menggambarkan orang-orang mukmin,
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó™$# öNÍkÍh5t�Ï9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdã�øBr&ur 3“u‘qä© öNæhuZ÷�t/ $£JÏBur öNßg»uZø%y—u‘ tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar