Kamis, 17 November 2011

Pondok Pesantren Al-Islam Kemuja Bangka


PONDOK PESANTREN AL-ISLAM
KEMUJA BANGKA
OLEH : WARDATUL ILMIAH

     I.        SEJARAH BERDIRINYA PONPES AL-ISLAM
Pondok Pesantren Al-Islam berdiri pada tahun 1978 di Kemuja, yang didirikan oleh Haji Abdussomad dan Haji Ahmad Abu Bakar. Dalam catatan sejarah Pondok Pesantren ini merupakan salah satu Pondok Pesantren tertua di Bangka, karena ada satu lagi Pondok Pesantren yang setahun lebih tua dari Pondok Pesantren Al-Islam, yakni Pondok Pesantren Nurul Ihsan di Baturusa yang berdiri pada tahun 1977 yang didirikan oleh haji Muhammad Umar dan Haji Chalid Samid, akan tetapi pesantren ini mengalami kemerostan karena tidak berjalannya sistem pambelajaran yang baik. Sehingga sekarang jauh tertinggal dari Pesantren Al-Islam yang kini masih eksis dan sangat berpengaruh dalan kehiduan masyarak Bangka.
Istilah pesantren merupakan hal yang baru bagi masyarakat Bangka, karena istilah ini baru muncul pada tahun 1970-an, istilah pesantren baru dikenal dikalangan masyarakat ketika dari mereka banyak yang menyekolahkan anaknya di pondok pesantren terkenal di Saribandung, yakni pondok pesantren Nurul Islam, yang pada masa itu sedang dalam kejayaannya sehingga terkenal di wilayah Sumatra Selatan, dalam waktu yang sama banyak santri yang bermukim di Jawa, setelah itulah istilah pesantren mulai ada pada masyarakat Bangka.
Sebelum adanya sistem pesantren, sistem pengajaran agama Islam di Bangka berbentuk lembaga pengajian. Pada awal abad XX pendidikan madrasah diperkenalkan dengan istilah “Sekolah Arab” istilah ini digunakan untuk membedakan sekolah umum dan sekolah rakyat, dan karena ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama Islam dan menggunakan kitab-kitab berbahasa arab. Namun seiring berjalannya waktu, keberadaan madrasah tersebut sudah tidak berfungsi lagi. Madrasah inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya dua pesantren di Bangka, yakni pondok pesantren Nurul Ihsan di Batusura dan pondok pesantren Al-Islam di Kemuja.
Madrasah yang didirikan di Baturusa dan Kemuja berawal pada tahun 1920, madrasah ini mengalami pasang surut, sehingga pada tahun 1932 di desa Kemuja di dirikan juga sebuah madrasah yang berjumlahkan murid 30 orang, namun sayang seluruh alumninya tidak ditemukan dan madrasah inipun musnah. Pada tahun 1930-an terdapat dua madrasah di Baturusa. Yang satu didirikan oleh Kaum Tuo, dan yang satu di dirikan oleh Kaum Mudo dengan nama Madrasah Al-Irsyad. Namun sayang madrasah-madrasah yang ada di dua tempat tersebut tidak berfungsi cukup lama, sehingga bangunan dan fasilitasnya pun tidak dapat berthan lagi.
Seiring dengan semangat kemerdekaan dan meningkatnya kebutuhan akan pegetahuan agama, yang melahirkan banyak guru agama dan pejabat agama yang berpengaruh di Bangka. Di Baturusa pun mendirikan madrasah setingkat Tsanawiyah pada tahun 1976 dan madrasah Aliyah pada tahun 1982 yang kemudian berkembang berdirinya Pendidikan Guru Agama Negri (PGAN) sampai berubah status menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN ) pertama di Bangka.
Deskripsi madrasah diatas menunjukkan bahwasanya asal usul lembaga pesantren di Bangka pada umumnya berawal dari madrasah, dan ini merupakan corak khas dari pondok pesantren di Bangka. Bukan seperti di jawa, yang mana pesantren itu bermula dari lembaga-lembaga pengajian, atau kedatangan seorang kiyai dengan membuka lahan untuk mendirikan pesantren dengan seizin gurunya dengan membawa sejumlah santri unuk menjadi cikal bakal, seperti pesantren Tebu Ireng di Jombang, dan lembaga pendidikan islam di jawa bukan merupakan pendidikan islam asli masyarakat Bangka.
Pondok pesantren Al-Islam sesungguhnya hanya merupakan penggabungan dari beberapa madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyyah, Tsanawiyah sampai tingkat Aliyah yang menjadi satu kesatuan yang dikelola oleh satu badan hukum berbentuk Yayasan. Sebagai pelengkap kemudian ditmbhkanlah kurikulum pesantren berupa pengajian kitab-kitab kuning dan beberapa kegiatan seperti Muhadarah (latihan pidato) dan ibadah kemasyarakatan, kemudian disedikan juga asrama bagi santri yang berasal dari desa yang jauh letaknya dari pesantren.
Karakreristik utama dari pondok pesantren Al-Islam ini merupakan pengabungan antara kurikulum madrasah yang bersifat klasikal dengan kurikulum pesantren, yang pada aplikasinya kurikulum madrasah yang menjadi tolak ukur kelulusan setiap peserta didiknya yakni kemampuan penguasaan materi madrasah dari pada materi pesantren itu sendiri.

    II.        KEDUDUKAN GURU DAN KIYAI
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pondok pesantren Al-Islam berdiri dari penggabungan madrsah madrasah yang ada di Bangka, dan ini berdampak pada kepiawaian Pimpinan pondok pesantren di Bangka begitu juga dengan Al-islam. Pondok pesantren Al-Islam dijabat oleh ulama senior. Di satu sisi ulama ini tidak disegani dan dihormati oleh santri-santrinya karena setiap kali memberikan pengajian kitab kuning sering menggunakan bahasa daerah dan ini dianggap tidak sesuai dalam proses pembelajaran, dan ini dikarenakan ulama senior tersebut tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bukan hanya itu, Beliau pun tidak menguasai metodologi dan strategi belajar mengajar karena hanya lulusan pengajian semata. Namun di sisi lain peranan pimpinan pesantren ini sangat di ta’dimi, berpengaruh dan berkharisma  dimata masyarakat setempat.
Konsekuensi lain dari sebuah pesantren yang berdiri dari madrasah adalah kepemimpinan pesantren yang cenderung rasional demikratis. Kedudukan kiyai di pesantren diangkat oleh pengurus yayasan. Sehingga kebijakan pesantren ditentukan oleh pengurus yayasan dan pimpinan madrasah yang ada di lingkungan pesantren tersebut. Melalui sistem inilah pesantren Al-Islam tetap eksis sampai sekarang, dan dalam batas-batas tertentu mengembangkan diri dalam rangka peningkatan kulitasnya.
Karena kurangnya kemampuan para kiyai senior tersebut, Para santri lebih hormat pada guru agama senior mereka di madrasah yang pada waktu itu dijabat oleh Ahmad Hijazi, alumnus ponpes Nurul Islam Saribandung. Pada tahun 1983 Al-Hijazi dingkat menjadi pimpinan pondok pesantren Al-Islam meskipun pada saat itu usianya masih relativ muda, namun kepiawaiannya dan kecakapan ilmunya tidak diragukan lagi. Para santri lebih menghormatinya dan masyarakat setempat pun mempercayakan hal itu. Al-Hijazi dingkat menjadi pimpinan bukan hanya faktor kecerdasan dan keilmuan yang dimilkinya, juga karena Beliau terkenal dengan keikhlasannya, kesabarannya dan kearifannya dalam memimpin pesantren dan mengnsuh santri di pondok tersebut.
Tenaga pendidik di pondok pesantren Al-Islam berjumlah 50 orang untuk berbagai tingkat madrasah dan pengajian kitab kuning. Mayoritas guru madrasah Tsanawiyah dan Aliyah merupakan Sarjana, terutama dari perguruan tinggi islam, ada juga yng berlatar belakang pendidikan hanya sampai tingkat Aliyah namun pernah mengikuti pesantren salafiyah di Jawa. Untuk bidang-bidang umum, guru-guru memiliki latar belakang pendidikan di perguruan tinggi umum.  Selain diangkat oleh yayasan, di pesantren al-islam terdapat beberapa guru negeri yang diperbantukan oleh Departemen Agama.
Rekrutmen guru pada pondok pesantren Al-Islam bukan menjadikan ijazah sebagai tolak ukur utama, malainkan spek kualitas dan kepribadian menjadi lebih penting. Bahkan kadang-kadang kepribadian dan kepatuhan kepada tradisi pesantren lebih penting dari pada pengetahuan dan kemampuan akademis seseorang. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya salah seorang guru yang tidak mengikuti aturan pesantren. Hal ini dilakukan karena bagi mereka guru merupakn sosok yang harus dihormati, dicontoh dan di ikuti tingkah lakunya, jadi guru haruslah mencerminkan sikap uswatun hasanah dalam kesehariannya.
  III.        SISTEM PEMBELAJARAN
Pondok pesantren Al-Islam terdiri dari Taman Kanak-Kanak, madrasah Ibtidaiyyah, madrasah Diniyah, madrasah Tsanawiyah, dan madrasah Aliyah. Madrasah diniyah diperuntukkan bagi anak-anak SD yang ingin menambah pengetahuan agama. Madrasah Ibtidaiyyah di laksanakan pada pagi hari, sedangkan madrasah Diniyah, Tsanawiyah dan Aliyah dilaksanakan pada sore hari (antara pukul 13.30 samapi dengan 17.30 WIB).
Santri yang berada dipesantren Al-Islam dikategorikan kepada dua golongan, yakni santri kalong dan santri mukim. Hal ini dikarenakan tidak adanya peraturan yang mengharuskan para santrinya mukim di pesanten, akan tetapi kebanyakan dari mereka merupkan santri kalong.
  IV.        KURIKULUM PONPES AL-ISLAM
Kurikulum utama pesantren Al-Islam mengikuti kurikulum Departemen Agama, yang mana Departemen Agama setempat dalam batas-batas tertentu mengikuti dari kebutuhan dan kelastarian pemahaman ahlus sunah wal jama’ah di Bangka. Hal ini nampak dari buku-buku pelajaran yang yang digunkn di madrasah tersebut. Khusus bagi madrasah Diniyah memiliki kurikulum sendiri (mencakup mata pelajaran dalam lingkup ilmu-ilmu agama islam).  Selain itu ditambahkan dengan kurikulum pesantren. Kitab kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren Al-Islam di bedakan antara tingkat Tsanawiyah dengan tingkat Aliyah, berikut adalah datanya :


Tabel Kitab Kuning Untuk Tingkat Tsanawiyah
PELAJARAN
JUDUL
PENGARANG
Tafsir
Tafsir Al-Jalalain
Jalaluddin Al-suyuti dan
Jalaluddin Al-Mahally 
Hadits
Hadits Al-Arba’in
An-Nawawiyah
Imam Nawawi
Nahwu
Matan Al-Jurumiyah
Ahmad Zaini Dahlan
Nahwu
Mukhtasor Jiddan
Ahmad Zaini Dahlan
Shorof
Matan Al-Bina’
Mulla Al-Danqarri
Shorof
Al-amtsilah Al-Tashrifiyah
Maksum Ali
Fiqih
Al-Ghayah wa Al-Takrib
Abu Suja Al-Isfahani
Tauhid
Matan Umm Al-Barahin
Muhammad Al-Sanusi
Tajwid
Al-Tajwid Al-Wadhih
Darul Qutni

Tabel Kitab Untuk Tingkat Aliyah Di Pondok Pesantren Al-Islam Adalah
PELAJARAN
JUDUL
PENGARANG
Tafsir
Tafsir Al-Jalalain
Jalaluddin Al-Suyuti dan
Jalaluddin Al-Mahally 
Nahwu
Al-Kawakib Al-Dariyah
Muhammad bin Ahmad bin Abdul Barri
Nahwu
Qawaid Al-Lughah Al-Arabiyah
Hafni Nashif
Sharaf
Al-Kaylani
Ali bin Hisyam
Fiqih
Fathul Qarib
Ibn Qassim Al-Ghazzi
Tauhid
Kifayah Al’awwam
Muhammad Al-Fadhdali
Tajwid
Hidayah Al-Mustafid
Muhammad Al-Mahmud
Akhlak
Ta’lim Al-Muta’llim
Burhan Al-Jurnuzi



Seluruh kitab yang diajarkan tersebut mengikuti prinsip-prinsip ahlus sunah wal jama’ah. Tidak ada diantara kiab kitab tersebut yang ditulis oleh ulama modernis yang tidak mengikuti prinsip-prinsip dan tradisi ahlus sunah wal jama’ah. Hal ini menunjukkan bahwa islam yang diajarkan di pesantren Al-Islam mengikuti paham ahlus sunah wal-jama’ah . Ini sesuai dengan rumusan tujuan pondok pesantren Al-Islam Kemuja, yakni “tarbiyah al-insan shalihin ‘ala thoriqoh ahl al-sunnah wal-jama’ah, atau mendidik insan sholeh yang bewawasan ahl al-sunnah wal-jama’ah. Dengan mengacu kepada konsep ahl al-sunnah wal-jama’ah kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan mengacu pada norma tersebut.
Pengajian kitab kuning diselengggarakan pada malam hari dengan menggunakan metode bandongan, yakni metode dimana seorang guru membacakan dan menjelaskan isi kitab sementara santri memegang kitabnya masing-masing mendengar dan mencatat keterangan guru baik langsung pada lembaran kitab tersebut maupun pada kertas catatan lain. Kemudian cara banongan berkembang dengan cara Tanya jawab dimana guru menanyakan isi kandungan atau menyuruh para santri untuk membacakan kembali maupun menanyakan kembali kepada santrinya tentang makna perkata dan menyuruhnya untuk membacakan kembali kitab tersebut. Hal ini bertujuan sebagai tolak ukur bagi para guru untuk mengetahui apakah santrinya memahami apa yang diajarkannya serta penguasaan dalam membaca kitab kuning tersebut.
Selain pengajian kitab kuning, pondok pesantren Al-Islam juga mengadakan berbagai kegiatan ekstra kurikuler meliputi pengajian Al-Qur’an, muhadoroh, pembacaan barjanzi, praktik ibadah kemasyarakatan, olah raga, seni qasidah, keterampilan dan kepramukaan, yang pada umumya dilaksanakan pada malam hari atau pada hari minggu.
Para santri seringkali mengisi acara kemsyarakatan dengan menghadirkan qari’dan qari’ah terbik serta penceramah yang dipercaya. Hal ini dilaksanakan bukan hanya sekedar melatih kemampuan mental para santrinya melainkan juga sebagai sarana dakwah sekaligus sarana promosi kepada masyarakat.
       V.            STATUS ALUMNI
Alumni pondok pesantren Al-Islam banyak yang mengajar agama di madrasah dan sekolah-sekolah di Bangka dan melaksanakan kegiatan dakwah islam di daerahnya masing-masing, banyak yang telah menjadi sarjana dan kembali kepada almamaternya untuk mengabdikan diri dengan ilmu yang telah dimilikinya. Sebagian lagi menetap di berbagai derah dengan berbagai macam profesi yang digelutinya. Ada diantara mereka yang mendirikan madrasah-madrasah di desa-desa lain yang belum memliki lembaga serupa.
     VI.            HUBUNGAN PEMETINTAH DAN MASYARAKAT DENGAN PONDOK PESANTREN  AL-ISLAM
Pondok pesantren Al-Islam memiliki peranan ganda, yang pertama melaksanakan fungsi yang bersifat intern merupakan pelaksanaan fungsi pendidikan dan pengajaran lembaga pesantren, sedangkan kegiatan dakwah dan tabligh merupakan pelaksanaan fungsi pesantren sebagai lembaga dakwah. Antara masyarakat dengan pesantren Al-Islam sama-sama mempertahankan dan memelihara islam tradisional di Bangka.
Masyarakat Bangka sadar betul akan perkembangan pemahaman dalam islam, oleh karena itu pihak pesantren sangat berhati-hati terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap paham ahl al-sunnah wal-jama’ah, setiap kali ada penyimpangan yang muncul di tengah-tengah masyarakat Bangka, mereka cepat-cepat mendiskusikannya dengan merujuk kepada kitab-kitab klasik yang mereka pelajari, dan istlah ini sering mereka sebut dengan istilah bahtsul masail. Hal ini dilakukan agar penyimpangan dan isu-isu yang menyesatkan tidak masuk ke pesantren. Inilah salah satu fungsi pesantren sebagai intrrnal dan eksternal kemsyarakatan.
Paham ahl al-sunnah wal-jama’ah sudah mengakar kuat di kalagan masyarakat Bangka, kehadiran pondok pesantren yang ada di Bangka, tidak terlepas juga pondok pesantren Al-Islam merupakan salah satu upaya melestarikan paham ahl al-sunnah wal-jama’ah dari generasi ke generasi. Adanya kesatuan cita-cita dan harapan merupkan kekuatan yang potensial dalam mempertahankan dan memelihara kelestarian islam tradisional (ahl al-sunnah wal-jama’ah)
Hubungan birokrasi antara guru atau kiyai dengan pemerintah setempat merupkan kerjasama yang bersifat mutualistik, dimana pemerintah melibatkan para guru atu kiyai tersebut dalam pertemuan-pertemuan dan kegitan-kegiatan tertentu yang pada gilirannya dapat mensosialisasikan program-progran dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Di sisi lain para guru atau kiyai tersebut dapat menyebar luaskan prinsip dan ajaran islam dalam masyarakat, dan inilah fungsi pesantren sebagai lembaga sosial kemasyarkatan.
Meskipun pihak pesantren memegang teguh prinsip ahl al-sunnah wal-jama’ah, tetapi mereka tidak menutup diri dengan perubahan yang ada. Pihak pesantren memiliki prinsip memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.
   VII.            KESIMPULAN
Pondok pesantren Al-Islam merupakan salah satu pondok pesantren tertua di Bangka, dan pesantren ini terletak di Kemuja yang berdiri pada tahun 1978. Pendirinya adalah Haji Abdussomad dan Haji Ahmad Abu Bakar. Pondok pesantren ini berasal dari madrasah-madrasah yang telah ada sebelumnya, karena pada hakikatnya masyarakat Bangka belum familiar dengan istilah pesantren.
Al-Islam merupakan salah satu alternatif dalam melestarikan paham ahl al-sunnah wal-jama’ah dalam masyarakat Bangka, keselarasan ideology antara pesantren dengan harapan masyarakat merupakan pondasi yang sangat nyata dalam melestarikan keberadaan dan keberlangsungan pesantren Al-Islam, hal ini terlihat dari kurikulum yang dajarkan pada pesantren tersebut yang menggunakan kitab-kitab dan materi ajar yang sesuai dengan paham ahl al-sunnah wal-jama’ah. Oleh karena itulah masyarakat setempat berbondong-bondong menyekolahkan anaknya pada pesantren tersebut.

ASPEK KONDISIONALITAS AJARAN AL-QUR’AN

ASPEK KONDISIONALITAS AJARAN AL-QUR’AN

OLEH : WARDATUL ILMIAH

 BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan syari’ah tidak dalam bentuk hukum siap pakai. Al-­Qur’an dan Hadits merupakan bahan hukum (mashaadir syar’iyyah). Untuk mengolah bahan­-bahan hukum tersebut menjadi hukum syari’ah, Allah SWT melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada umat (ulama) sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Para ulama kemudian melakukan ijtihad.
Teks Al-Qur’an dan Hadits adalah bagian dari ajaran agama. Adapun pemahaman (interpretasi) seseorang terhadap teks-teks tersebut belum tentu merupakan bagian dari agama kecuali pemahaman tersebut diujipublikkan melalui sebuah proses yang disebut ijma’. Apabila mayoritas (jumhur) ulama menyatakan, pemahaman tersebut bersih dari unsur kesesatan, maka pemahaman tersebut mendapatkan legitimasi agama dan menjadi acuan hukum.
Dr Manna 'Al Qathan yang menyatakan bahwa Al-Qur'an merupakan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam hidup dan kehidupan manusia. Dalam Al-Qur'an diungkapkan garis-garis besar dan pokok kehidupan masa lampau, masa kini, dan masa mendatang. Dalam Al-Qur'an secara tegas telah diajarkan bagaimana seharusnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, kriteria antara yang baik dan yang buruk, hidup sesudah mati, soal surga, neraka dan macam-macam soal yang ghaib, yang tidak dapat dijangkau oleh rasio dan kecerdasan otak manusia.
Demikian pula Al-Qur'an memuat ilmu-ilmu yang berkenaan dengan soal-soal kemasyarakatan, misalkan hubungan antara suami istri, hubungan kekeluargaan soal warisan, masalah dagang dan jual beli, hukum perdata, pidana, metode pendidikan, sistem pemerintahan, masalah hubungan kerja dan perburuhan, penggunaan kekayaan alam, terutama untuk kepentingan pembangunan umat secara keseluruhan.
Untuk itu, idealnya masyarakat Islam mau dan mampu mengkaji, menganalisis ajaran-ajaran Al-Qur'an secara aplikatif, dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan beragama.
Walhasil Al-Qur'an merupakan khazanah yang sangat berharga dan memiliki nilai sakral dan agung sehingga mau tidak mau umatnya wajib untuk senantiasa mengkaji, menganalisis, menghayati secara mendalam yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,
Al-Qur'an selalu aktual dan sesuai dengan perkembangan pemikiran, sikap dan prilaku umat manusia, sehingga tiada henti-hentinya umat Islam dianjurkan untuk membaca, mengkaji, menganalisis ayat-ayat Al-Qur'an secara detail. Seiring dengan lajunya pembangunan bangsa dan didorong oleh era reformasi, umat Islam hendaknya memiliki sikap yang dinamis dan konstruktif.
Kondisi umat islam dewasa ini menuntut ijtihad para ulama yang fleksibel sesuai dengan tuntutan zaman, agar tidak terjadi persepsi ketidak konsistenan Al-Qur’an dengan tuntutan zaman, juga agar umat islam tidak terlalu mempermudah dalam memutuskan suatu hukum, islam memang mudah tapi jangan dipermudah.
B.     PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH
Dari latar belakang masalah yang penulis paparkan diatas, maka perumusan maslahnya adalah :
1.      Bagaimana hakikat dari kondisionalitas ajaran al-qur’an ?
2.      Aspek apa yang termasuk pada kondisionalitas dalam al-qur’an ?
3.      Bagaimana seharusnya umat muslim menerapkan hukum syari’ah ?
C.    TUJUAN PEMBELAJARAN
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan pembelajarannya adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui Bagaimana hakikat dari kondisionalitas ajaran al-qur’an ?
2.      Untuk mengetahui Aspek apa yang termasuk pada kondisionalitas dalam al-qur’an ?
3.      Untuk mengetahui Bagaimana seharusnya umat muslim menerapkan hukum syari’ah ?







BAB II
ASPEK KONDISIONALITAS AJARAN AL-QUR’AN


A.    PEBGERTIAN ASPEK KONDISIONALITAS AJARAN AL-QUR’AN
            Aspek adalah sudut pandang (terhadap suatu hal / peristiwa), atau bisa juga diartikan pandangan terhadap bagaimana terjadinya suatau peristiwa dari permulaan sampai akhirnya.[1] Kondisionalitas berasal dari kata kondisi yang artinya keadaan, sedangkan ajaran adalah petunjuk, dan Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang berisi firman-firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, difahami dan damalkan sebagai petunjuk/pedoman hidup bagi umat manusia.[2]
            Kondisionalitas dapat pula diartikan sebagai fleksibelitas, karena keduanya menuntut kepada perumusan masalah berdasarkan ruang dan waktu atau sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada suatu waktu. Fleksibelitas berarti kelenturan atau kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan yang selalu berubah-ubah dan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.[3]
            Jadi yang dimaksud dengan aspek kondisionalitas ajaran Al-Qur’an adalah bagaimana Al-Qur’an menyikapi fenomena masyarakat secara bijaksana sesuai dengan ruang dan waktu.
            Syari’at islam mengatur masalah Aqidah, Ibadah, Akhlak, dan Muamalat. Tiga hal pertama dijelaskan secara jelas dan tegas. Adapun muamalat dijelaskan secara umum sehingga hukumnya bisa berubah-ubah sesuai kondisi dan waktu[4].
           
            Menurut penulis selain persolan Aqidah semua aspek bisa jadi fleksibel dalam pelaksanaannya, meskipun sudah ada aturan atau tatanan berkaitan hal tersebut, karena ayat yang terkandung dalam al-qur’an itu pada hakikatnya bersifat universal, dan kondisionalitas itu terletak pada penerapannya. Dan contoh dari kondisionaliotas dalam segi ibadah adalah : Sholat idul fitri di Los Angles, Amerika Serikat. Di kota ini, yakni di Islamic center nya, sholat idul fitri di lakukan secara bergiliran, ada yang sholat jan 07.00 dan ada yang jam 09.00 di tempat yang sama. Sebab kalau semu dating pada waktu yang besamaan, tempat parkirnya tidak cukup, karena setiap jamaah yang dating umumnya membawa kendaraan karena cukup jauh dari kediamannya. Pertanyaannya, sah kah sholat idul fitri secara bergantian ? jawabannya, sah ! alasannya, bahwa waktu sholat idul fitri adalah waktu dhuha. Jadi sepanjang masih pada waktu dhuha shalat tersebut hukumnya sah. Di Indonesia belum ada kebutuhan untuk itu, karena lahan parker masih luas dan memadai.[5]

            Ajaran Al-Qur’an harus tetap dibumikandengan mencontoh metode enkulturasi yang telah dipraktikkan al-qur’an sendiri. Hal ini dilakukan dengan menemuka nilai fundamental dari ajaran tersebutdan mempertimbangkan metode ijtihad yang di praktikkan oleh para ulama sebelumnya.[6] Ijtihad dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul dan memerlukan kepastian hukumdi dalamnya.

B.     PENTINGNYA KONSITENSI dan FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM

            Allah swt menginginkan islam dijadikan panduan atau landasan hukum pertama dan terutama bagi seluruh manusia, Firman Allah swt:

!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. (QS Saba :28)[7]
             Dari ayat tersebut diketahui bahwa hukum Islam berlandaskan antara ketidakberubahan dan kelenturan yang menghasilkan hukum yang bersifat umum sekaligus memiliki kaidah-kaidah yang terperinci, yang membuka seluas-luasnya pintu ijtihad (upay menyimpulkan hokum dari sumbernya yang sejati, yakni Al-Qur’an dan hadits) sepanjang masa, sebagai upaya untuk menerapkan hukum islam dalam berbagai persoalan yang muncul.

            Fleksibelitas yang meniscayakan kedinamisan tersebut pada gilirannya memungkinkan hukum Islam memberikan jalan keluar bagi setiap persoalan yang muncul dari waktu kewaktu, serta menjadikan mampu menciptakan dan mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Sementara konsistensinya menjadikan masyarakat mampu membentengi dirinya dari pengaruh pelbagai factor perusak yang berasal dari masyarakat atau komunitas lain.

             Konsistensi hukum islam akan memperkokoh urat nadi umat islam, mendorongnya untuk lebih banyak mengabdi (khidmat) serta membangun hubungan yang harmonis dan kokoh antar sesama umat muslim.

             Sementara kedinamisan atau kelenturan hukumnya membuat masyarakat mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan, tantangan, perubahan dan perkembangan zaman, tanpa menghilangkan karakteristik dan posisi yang khas yang dimilikinya. Penjelasan prihal nilai penting dan menentukan dari konsistensi sebuah system, serta sikap individu dan masyarakat. Berikut adalah gambarannya:

1.      Sikap konsisten merupakan ihwal penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, sikap tersebut harus selalu mengiringi setiap gerak atau prilaku manusia. Sikap ini juga sangat terkait dengan hidayah (petunjuk). Terutama, tatkala menghadapi suatu persoalan atau sejenisnya. Dengan sikap tersebut, manusia akan meraih kebaikan.
2.      Sikap konsisten terhadap hokum. Yaiyu, terus menerus menjadikan hokum Islam sebagai rujukan dalam menghadapi segala persoalan yang muncul dalam kehidupannya.
3.      Sikap konsisten tersebut merupakan benteng pertahanan masyarakat dalam menangkal serangan budaya (yang sudah tercemar) yang dilancarkan orang-orang barat. Saat akidah tidak lagi menjadi pegangan, nscaya berakhir sudah segalanya dan kehidupan masyarakat akan anjlok hingga ke titik hadir (yang terendah). Dalam keadaan demikian, tak ada yang berkuasa kecuali para pecundang yang mengenakan jubah kezaliman.
4.      Sikap konsisten menghidupkan kedamaian dan ketentraman dalam hati kaum  muslim.
            Tidak diragukan lagi, kehidupan masyarakat yang tidak berpegang pada hokum yang bersumber dari Al-Qur’an, akan selalu dibayang-bayangi guncangan yang menakutkan, serta dipenuhi keraguan dan keresahan yang berujung pada kehancuran. Inilah kenyataan  yang melanda kebanyakan masyarakat di benua Eropa. Sebaliknya hukum Islam justru menghalau dan menghapuskan semua itu.
       I.            Pandangan Al-Qur’an
            Orang-orang yang mengkaji Al-Qur’an akan menemukan berbagai dalil yang menunjukan keagungan hukum Al-Qur’an dalam ayat-ayatnya yang memadukan konsistensi dan flesibelitas (kondisionslitas)
Dibawah ini adalah beberapa contohnya:




1.      Konsisten dalam menggambarkan orang-orang mukmin,
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ