GURU MASA KLASIK
Oleh : Wardtul Ilmiah[1]
A.
PENDAHULUAN
Guru merupakan
salah satu tombak dalam keberlangsungan proses belajar mengajar, aktifitas
belajar mengajar tidak mungkin berlangsung secara sempurna tanpa kehadirannya.
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa itulah pepatah mengatakan. Peran penting
seorang guru dalam proses belajar mengajar menjadikannya disegani dan di
ta’dzimi oleh para peserta didiknya, bukan hanya itu segala petuah dan
tingkahlakunya merupakan cerminan bagi semua peserta didiknya karena keagungan
dan sikap berwibawa yang selalu diaplikasikannya, meski dengan imbalan yang
sangat tidak memuaskan bahkan terkadang tidak sama sekali, namun tidak membuat
goyah hati nurani seorang guru untuk tetap mentransformasikan ilmu pengetahuan
demi memberantas kebodohan dan dengan niat tulus untuk mendidik dan mengajar
peserta didiknya, kondisi inilah yang tergambar saat itu sehingga jarang sekali
yang berminat untuk menekuni profesi ini.
Guru memiliki
peranan penting dalam proses belajar mengajar selain sebagai Transformer Of
Knowledge, fasilitator, guru pun dituntut untuk menyesuaikan sikap dan
kepribadiannya dimata masyarakat terutama di mata peserta didiknya, karena
bagaimanapun sosok guru masih tercermin dengan sikap yang di gugu dan ditiru,
baik dalam segi sikap maupun tutur katanya, dan oleh sebab itulah dari dulu
hingga sekarang factor kepribadian guru merupakan salah satu kompetensi yang
harus dimilikinya. Peran penting seorang guru dalam mencetak peserta didiknya
sesuai dengan tujuan hidupnya merupakan salah satu tugas utama bagi seorang guru.
Seiring berjalannya
waktu, kharismatik seorang guru mengalami pergeseran nilai, profesi ini kini
banyak diminati oleh masyarakat luas, bahkan menjadi salah satu primdona dengan
segala fasilitas dan penunjang yang diperuntukkan bagi guru, padahal dulu
profesi ini sangatlah jarang diminati oleh masyarakat.
Pola Rekrutmen guru
bukan lagi berdasarkan keahlian yang mereka miliki, apalagi memperhatikan
kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru. ini berdampak dalam
berjalannya proses belajar mengajar, parahnya pendidikan kini banyak dicemari
oleh oknum-oknum yang seharusnya tidak menduduki jabatan tersebut, hanya demi
kepulan asap dapur semata, tanpa mereka sadari akan merusak generasi bangsa
mendatang.
Dampaknya, berapa
banyak kasus yang kita saksikan dalam dunia pendidikan yang melibatkan oknum
guru, dari kasus narkoba, pencabulan di dalam dan di luar sekolah, hingga
menjual anak didiknya sendiri. Pantaskah iadisebut sebagai guru ? pantaskah ia
menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang harus digugu dan di tiru?
Dari pemaparan di
atas, dalam makalah ini penulis akan mendeskripsikan bagaimana hakikat guru
dengan segala tugas yang diembannya dengan mencontoh kepada guru masa klasik
dan melandaskan kepada Al-Qur’anul Kariem, dengan harapan pendidikan zaman
sekarang khususnya yang panulis soroti dari segi pendidik bisa menjadi pendidik
sejati dengan kompetensi yang dimilikinya, dan kecerdasan serta keterampilan
dan kepribadian seorang guru yang sesungguhnya, bukan menjadikan profesi guru
sebgai sarana pencari nafkah semata. Materi
memang penting, semuanya membutuhkan materi, tapi materi bukanlah
segala-galanya.
B.
Hakikat Guru
1.
Pengertian Guru
Dalam dunia pendidikan, pihak yang melakukan tugas-tugas mendidik
dikenal dengan dua predikat, yakni pendidik dan guru. Pendidik (murabbi)
adalah orang yang berperan mendidik subjek didik atau melakukan tugas
pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melakukan tugas
mengajar (ta’lim).[2] Dalam
UU SISDIKNAS, pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan
dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.[3] Masih
dalam UU Sisdiknas No 29 tahun 2003, di jelaskan bahwa pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyasuara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.[4]
Secara bahasa pendidik adalah orang yang mendidik.[5]
Dalam bahasa inggris di sebut dengan teacher[6]
artinya guru, pengajar.
2.
Kompetensi Mengajar Guru
Sebelum kita membahas guru masa klasik kita fahami terlebih dahulu
batasan masa klasik tersebut, para penulis barat mengidentikan masa klasik
dengan masa kegelapan; sementara para penulis muslim mengidentikannya dengan
masa keemasan, maka untuk mempertegas batasan tersebut sesuai dengan pandangan
Harun Nasution bahwa periode klasik di mulai pada tahun 650 hingga 1250 M yaitu
sejak Islam lahir hingga kehancuran Baghdad. Secara garis besar penulis menggambarkan
kriteria guru pada masa Islam klasik dengan mengambil pendapat para filosof
Islam yang hidup antara tahun 650 hingga 1250 M, atau yang biasa disebut masa
keemasan Islam hingga runtuhnya Baghdad.[7]
1) Kompetensi Guru Menurut Ibnu Sina
Ibnu Sina memberikan konsep guru berkisar
tentang guru yang baik, dalam hal ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik
harus mempunyai kriteria sebagai berikut :
Guru haruslah berakal cerdas, mengetahui cara
mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari
berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan
santun, bersih, dan suci dari murni. Lebih jauh Ibnu Sina menambahkan bahwa
seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat, menonjol budi
pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam mendidik anak-anak, adil,
hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati.
Selain itu guru juga harus lebih mengutamakan kepentingan umat dari pada
kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari orang-orang yang berakhlak
rendah, sopan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.[8]
Jika diperhatikan secara seksama, Ibnu Sina
menggambarkan guru sebagai potret tauladan yang menekankan unsur kompetensi
atau kecakapan dalam mengajar dan juga berkepribadian yang baik. Dengan
kompetensi itu seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan
berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia akan dapat
membina mental dan akhlak anak.
2)
Kompetensi Guru Menurut Ibnu Maskawih
Ibnu Miskawih menempatkan guru sejajar dengan
Nabi, terutama dalam hal cinta kasih, cinta kasih terhadap pendidik menempati urutan
kedua setelah cinta kasih terhadap Allah. Sementara guru yang dimaskud oleh
Ibnu Maskawih bukan sekedar guru formal karena jabatan, guru biasa adalah guru
yang memiliki persyaratan anatara lain : bisa dipercaya, pandai, sejarah
hidupnya tidak tercemar di masyarakat, selain itu ia juga harus menjadi cermin
atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
3)
Kompetensi Guru Menurut Imam Al-Ghazali
Dalam
kitab Ihya ‘Ulumuddin di terangkan seorang guru haruslah memiliki kriteria
sebagai berikut :
a)
Belas kasih
kepada para pelajar dan hendaklah memperlakukan mereka seperti anak-anaknya
sendiri.
b)
Hendaknya
pengajar mengikuti pemilik syara’ Muhammad SAW, sehingga ia mengajarkan ilmu
bukan untuk mencari upah dan tidak memaksudkannya untuk mencari balasan, tidak
pula supaya dipuji, melainkan ia mengajar demi mengharapkan ridho Allah Ta’ala
dan agar bisa mendekatkan diri kepada-Nya.
c)
Hendaklah
pengajar tidak membiarkan sedikitpun dari membaguskan pelajar. Yaitu dengan
mencegahnya dari menempatkan diri pada satu martabat sebelum masanya dan
menekuni ilmunya yang tersembunyi, sebelum selesai dari ilmu yang nyata.
Kemudian pengajar mengingatkan pelajar, bahwa tujuan menuntut ilmu, ialah
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, bukan untuk mencari kedudukan, kebanggaan
dan bermegah-megah.
d)
Tugas ini
termasuk lembutnya peraturan mengajar, yaitu pengajar hendaknya mencegah
pelajar dari buruknya akhlak, sedapat mungkin dengan cara menyindir, tidak
terang-terangan dan dengan cara belas kasih, bukan dengan cara
menjelek-jelekan. Sebab, menerangkan buruknya akhlak itu membuka rahasia diri
dan menyebabkan berani melawan pengajar, serta membangunkan keinginan untuk
tetap pada akhlak yang buruk itu. [9]
4)
Kompetensi
Guru Menurut Imam Abu Hanifah
Dalam
kitab Ta’limul Muta’allim Imam Abu Hanifah menyarankan agar memilih guru
dengan melihat yang lebih alim, lebih waro, lebih berusia, santun, dan penyabar
di setiap urusan.[10]
C.
PRANATA SOSIAL GURU
Di lihat dari kedudukan social dan
penghasilan guru pada masa islam klasik di kategorikan kepada tiga golongan :
1.
Guru Sekolah Taman Kanak-Kanak (Mu’allim Kuttab)
Muallim
kuttab, merupakan guru yang berstratifikasi
social paling rendah dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini di sebabkan
banyaknya tingkahlaku mereka yang di pandang rendah di mata masyarakat, di
antaranya :
Ø Ketika seorang anak membaca Al-Qur’an dan sampai pada kalimat, wainna
‘alaika la’nata, anak tersebut mengulang-ulang bacaannya sambil melihat ke
wajah gurunya, kemudian gururnya tersebut marah dan berkata wainna ‘alaika
la’nata wa ‘ala walidaika, kemudian anak itu berkara didalam kitabku Cuma
ada wainna ‘alaika la’nata,apakah guru menginginkan ku untuk membaca ‘alaika
la’nata wa’ala walidaika.
Ø Pada suatu waktu ada juga mu’allim kuttab tersebut
membacakan ayat ghulibatirrumu fi adnal ardi, tetapi dengan sengaja
beliau membacanya ghulibatit turki, para orangtua murid berusaha
membenarkannya tetapi mu’allim tersebut berargumen itu tidak penting
Rumawi dan Turki sama saja kedua-dunya musuh kita.
Ø Pada suatu waktu juga muallim mengajarkan kepada seorang
anak dengan menggabungkan ayat-ayat sebagai berikut :
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ (
cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã
Dan (ingatlah) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Qs
Lukman :13)
tA$s% ¢Óo_ç6»t w óÈÝÁø)s? x8$töäâ #n?tã y7Ï?uq÷zÎ) (#rßÅ3usù y7s9 #´øx. (
¨bÎ) z`»sÜø¤±9$# Ç`»|¡SM~Ï9 Arßtã
ÑúüÎ7B
Ayahnya
berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu,
Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi manusia."(QS.Yusuf :5)
ßÏ.r&ur #Yøx. ÇÊÏÈ È@ÎdgyJsù tûïÍÏÿ»s3ø9$# öNßgù=ÎgøBr& #J÷urâ ÇÊÐÈ
Dan
akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. karena itu beri
tangguhlah orang-orang kafir itu Yaitu beri tangguhlah mereka itu barang
sebentar. (QS: At Thariq : 16-17)
Ayat tersebut
di gabung-gabungkan dengan surat yang lain, mendengar semua itu orang-orang di sekelilingnya
merasa terkejut seraya berkata, ada apa ini ? akan tetapi mu’allim tersebut
berkata habis bagaimana orangtua dari murid ini selalu terlambat membayar spp
sehingga bulan yang satu bergabung dengan bulan yang lainnya, maka aku gabung
saja ayat-ayat tersebut agar anak ini tidak mendapat apa-apa sebagaimana aku
juga demikian tidak mendapat apa-apa.[11]
Di
kota Palermo terdapat kurang lebih 300 orang guru mu’llim kuttab yang
kebanyakan diantara mereka menderita sakit sawan, ceroboh dan bodoh.[12] Inilah
factor lain yang melahirkan image kurang baik di mata masyarakat. Namun
demikian tidak semua mu’allim kuttab ceroboh dan bodoh, ada sebagian
mereka yang ahli dalam bidang sastra, ahli khat dan fuqaha, mereka
inilah golongan mu’allim kuttab yang di segani dan di hargai, di
antaranya Kuwait Ibnu Zaid, Abdul Hamid Al-Katib, Qais Ibnu Sa’ad Husain Al-Mu’allim
dan Ali Sa’id Al-Mu’allim.
Sebenarnya
masih banyak lagi fenomena-fenomena yang menyebabkan rendahnya para mu’allim
kuttab di mata masyarakat. Melihat fenomena di atas merupakan salah satu
penyebab rendahnya status social mereka di mata masyarakat, karena ketidak
profesionalan mu’allim kuttab, membuat masyarakat memandang rendah
meskipun kedudukan mereka adalah sebagai seorang guru.
Di samping itu, taraf
ekonomi mu’allim kuttab pun sangat rendah, hal ini merupakan sebuah
dampak dari paradigma masyarakat setempat karena mu’allim kuttab
mengajarkan Al-Qur’an dan dasar-dasar agama, maka di harapkan mereka pun
mengikuti ulama sebelumnya yakni tidak memerima upah dari mengajarkan Al-Qur’an,
atau setidaknya mereka di tuntut untuk bersikap zuhud menerima apa adanya.
2.
Pendidik Putera-Putera Pembesar (Muaddib)
Berbeda dengan mu’allim
kuttab yang peserta didiknya adalah anak-anaka usia TK dan SD sedangkan muaddib
mengajarkan putra raja yang beranjak dewasa, pekerjaan ini banyak di gemari
masyarakat pada masa itu, karena status social mereka pun menjadi tinggi dengan
menjadi mu’addib. Ada persyaratan khusus bagi mu’addib, yakni
keilmuan yang memadai, adabnya dan berakhlak mulia. Menjadi mu’addib bagi
putra-putra raja adalah suatau pekerjaan
yang terhormat yang mendatangkan keuntungan moril dan materil bagi orang-orang
yang melakukannya, karena mereka di pandang sebagai pembimbing raja dan
pemelihara kerajaan.
Perhatian para
raja terhadap muaddib karena sesuai dengan tugas mereka mendidik dan
membimbing putra mahkota, menjadikan status social mereka tinggi di mata
masyarakat, bahkan terkadang nama muaddib di sandangkan atau di
tambahkan dengan gelar keturunan kerajaan. Memang tidak semua orang berminat
untuk menjadi mu’addib dengan alasan takut tergiur dengan materi duniawi
(zuhud dan wara) seperti Al-Chalil Ibnu Ahmad. Diantara muaddib yang
terkenal adalah Adlahhak Ibnu Muzahim ‘Amir Asy-Sjabi (pendidik putra-putra Khalifah
Abdul Malik Ibnu Marwan), Muhammad Ibnu Muslim Az Zuhri (pendidik Ibnu Hisyam
Ibnu ‘Abdil Malik), Abdus Shomad Ibnu ’Abdil A’la (pendidik Al-Walid Ibnu Zaid),
dan masih banyak lagi.[13]
Taraf ekonomi muaddib
sangatlah makmur dan tercukupi baik bagi dirinya maupun untuk menopang
keluarganya selain gaji pokok yang di terimanaya muaddib juga banyak
yang diberikan tempat tinggal, bintang ternak, pelayan, budak dan lain
sebagainya sehingga taraf ekonominya terjamin dan terpenuhi, menurut riwayat
yang ada rata-rata gaji muaddib sebulannya itu berjumlah seribu dirham.
3.
Guru-Guru di Madrasah-Madrasah dan di Masjid-masjid
Sama halnya dengan
muaddib, guru-guru di madrasah-madrasah dan masjid-masjid juga
mendapatkan penghormatan yang tinggi di mata masyarakat, karena guru merupkan
lampu penerang bagi masyarakat setempat, kedudukan ulama ibarat lampu penyinar
bagi kerajaan, bahkan Abdul Aswad Ad Duali pernah berkata tidak ada sesuatu
apapun yang lebih mulia dari ilmu pngetahuan, raja-raja adalah penguasa atas
rakyat dan ulama adalah penguasa atas raja-raja. [14]
Masih banyak lagi riwayat yang menerangkan tingginya kedudukan para guru dan
ulama di mata masyarakat. Riwayat-riwayat yang digambarkan menunjukkan betapa
tingginya kedudukan para ulama di hati masyarkat luas pada masa itu.
Taraf ekonomi para
guru di sekolah atau madrasah sangtlah makmur, mereka telah menikmati taraf
keuangan yang menyenangkan karena para khalifah, sulthan dan pembesar sangatlah memperhatikan segala
kebutuhan mereka, dan bantuan bantuan dari para khalifah pun tidak putus-putus
sehingga mereka hidup dalam kemakmuran. Penghargaan terhadap ilmu pengetahuan
sangatlah meningkat sehingga membuat para ulama menikmati hasil jerih payah
mereka dengan bayaran yang sangat mahal, seperti halnya Al-Djahiz yang dulunya
hanyalah seorang penjual roti akan tetapi berkat keilmuannya beliau mendapatkan
uang dari kitab-kitab yang di berikannya pada para khalifah, seperti Kitabul
Hajawan yang diberikan kepada Khalifah Muhammad Ibnu Abdil Malik dan di
berikan uang darinya sebesar lima ribu dinar, kitab Al-Bayan Wa Tabyin yang
di berikan pada khalifah Ibnu Abi Daud dan mendapatkan uang darinya lima ribu
dinar, dan kitab Azzar’u Wa Nahl kepada Ibrahim Ibnu Abbas Assuli dan
mendapatkan uang darinya lima ribu dinar.
Pada masa daulah fathimiyyah
gaji guru sangatlah tinggi, berikut tabel daftar gaji guru dan pejabat Negara :
No
|
Jabatan
|
Gaji per bulan
|
1
|
Menteri
|
5000 Dinar
|
2
|
Anak Menteri
|
200-300 Dinar
|
3
|
Sekretaris Ad Das Asyarif
|
150 Dinar
|
4
|
Ajudan (Protocol)
|
120 Dinar
|
5
|
Qadil Al-Qudlah
|
100 Dinar
|
6
|
Da’I Ad Du’ah
|
100 Dinar
|
7
|
Guru-Guru
|
100 Dinar
|
8
|
Kepala Baitul Mal
|
100 Dinar
|
9
|
Hamil Arrisalah (Deputi)
|
100 Dinar
|
10
|
Pemimpin Arsip
|
100 Dinar
|
11
|
Penyimpan Pedang
|
70 Dinar
|
12
|
Penyimpan Tombak
|
70 Dinar
|
13
|
Kepala Dewan Pertimbangan
|
70 Dinar
|
14
|
Dokter Pribadi
|
50 Dinar
|
15
|
Kepala Dewan Peneliti
|
50 Dinar
|
16
|
Kepala Dewan Majlis
|
50 Dinar
|
17
|
Khatib Masjid
|
10-20 Dinar
|
18
|
Penyair Khalifah
|
10-20 Dinar
|
19
|
Dokter Istana
|
10 Dinar
|
D.
PERANAN GURU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Peranan guru
dalam kehidupan masyarakat sangatlah erat, karena bagaimanapun juga sebagai
seorang pendidik di sekolah guru juga merupakan salah satu bagian dari
masyarakat, guru adalah makhluk social yang selalu berinteraksi dengan
masyarakat dimana ia tinggal, maka salah satu kompetensi yang harus dimiliki
guru adalah kompetensi social disamping kompetensi pedagogic, kompetensi
kepribadian, dan kompetensi professional. Keberadaan seorang guru di tengah
masyarakat sangatlah dominan, karena paradigma yang berkembang pada masa itu
sangatlah menomorsatukan peranan guru
dalam pembelajaran, salah seorang dari mereka pernah berkata “kebodohan yang
terbesar adalah mengangkat lembaran-lembaran buku sebagai syekh,maksudnya
belajar tanpa guru, juga disebut dalam kitab Asj-Skwa , bahwa “siapa
yang tidak mempunyai syeikh berarti ia tidak beragama, dan siapa yang tidak
mempnyai ustad berarti ia beriman kepada setan.[15]
Ciri utama
guru pada masa ini adalah pentingnya peranan individu guru,[16]
karena guru yang alim dan terkenal lebih dominan dari pada lmbaga pendidikan
yang formal. Guru yang semacam ini banyak menarik perhatian masyarakat
setempat, bahkan masyarakat yang jauh pun senantiasa datang untuk duduk
mendengarkan ilmu yang disampaikan oleh guru-guru tersebut. Terlebih guru yang
telah memperlajari hadits dan membangun sistim teologi serta hukum yang berlaku
dikalangan mereka.
Guru pada
masa klasik terkenal dengan system pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher
centred oriented), bukan instution oriented[17]
karena selain mengajarkan ilmu, para guru juga menentukan perencanaan sampai
pada pengaplikasian proses belajar mengajar. Jadi bukan institusi yang
mengharuskan muridnya belajar pada guru yang telah di tentukan melainkan
sebaliknya murid yang memilih guru tersebut sesui dengan kehendak mereka yang
dan yang mereka anggap mampu untuk mengajarkannya. Hal ini senada yang di
paparkan oleh Syeikh Az-Zarnuji dalam kitabnya ta’lim muta’lim, yakni
sebelum belajar hendaknya memilih gurunya terlebih dahulu, hal ini di maksudkan
agar ketika pembelajaran di mulai tidak ada rasa menyesal kemudian pindah ke
lain guru, karena hal ini akan menyakiti hatinya.
Secara
sosioligis guru mempunyai peranan penting pada masyarakat sekitar, meskipun
guru tidak membatasi sampai kapan harus belajar dengannya akan tetapi bukan
berarti melepaskan begitu saja murid-muridnya dalam bermasyarakat. Para guru
memantau perkembangan dan pergaulan murid-muridnya tersebut, sampai ketika para
murid tersebut mendapatkan ijazah, yakni sebuah tradisi yang diberikan
guru kepada muridnya sebagai tanda selesainya satu ilmu atau satu kitab yang di
kuasainya, yang kemudian dengan ijazah tersebut murid bisa mengajarkan ilmu
yang ia peroleh dari guru tersebut kepada yang lainnya. Tradisi ijazah
pertama kali ada dalam sejarah pendidikan islam
pada bulan Shafar tahun 304 Hijriyah, yang diberikan oleh Muhammad Ibnu
Abdullah Ibnu Ja’fr Al-Himyari kepada Abu Amir Sa’id Ibnu ‘Amr, karena telah
selesai menyelesaikan kitab Qurbul Isnad.[18]
Menurit Hasan
Hafidz secara umum peranan guru menjadi dua yakni sebagai murabbi dan
penggerak masyarakat. Sebagai murabbi ia mempunyai tanggung jawab menjaga
kepribadian anak dan mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Sedangkan
sebagai penggerak masyarakat, ia memiliki kewajiban untuk memberikan layanan
kepada masyarakat dengan baik, membangkitkannya dan mengangkatnya ke peradaban
yang lebih maju.[19]
E.
ORGANISASI GURU PADA MASA KLASIK
Organisasi yang
terkenal pada masa klasik dan pertengahan adalah Syarikat Guru[20],
yakni sebuah organisasi yang menghimpun para guru dan mengatur
kepentingan-kepentingan para guru tersebut. Peranan organisasi ini sangtlah
penting, karena selain sebagai sarana untuk mengangkat guru baru yang sekiranya
sedah mencukupi dan mumpuni untuk menjadi seorang guru, yang mana hal ini tidak
ada cmpur tangan pemerintah.
Bukan hanya di
kalangan guru, organisasi guru ini juga berperan dalam pemerintah setempat,
dengan adanya guru maka ilmu pengetahuan bisa menyebar luas dan ini sangat
membantu program pemerintah, tidak hanya itu, ketika penguasa memiliki suatu
aliran dan pemahaman yang di yakini
pemerintah saat itu para guru embantu untuk memberikan pemahamab dan pengajaran
pada masyarakat setempat, hal ini tentu menjadi sebuah kerjasama yang saling
menguntungkan kedua belah pihak (mutualisme). Bukan hanya pemerintah yang di
untungkan dengan keberadaan guru, guru pun mereasa terbantu dengan pemerintah
tersebut.
F.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan di atas dapatlah di tarik sebuah kesimpulan bahwasanya guru pada masa
klasik dan pertengahan merupakan idola bagi masyarakat setempat dan bagi
pemerintah karena selain sebagai penyiar ilmu pengetahuan juga sebagai
dinamisator bagi masyarakat setempat, keberadaan guru dalam masyarakat bagaikan
cahaya di tengah redupnya malam, ilmu yang di ajarkannya menerangi langkah dan
pemikiran masyarakat, sehingga tidak heran guru yang berkompeten terangkat
derajatnya. Hal ini seesui dengan firman Allah yang artinya “Allah akan
mengangkat derajat aorang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang
yang berilmu pengetahuan dengan beberapa darajat”.
Guru
pada masa klasik terdapat tiga golongan, yakni Mu’allim Kuttab, Muaddib
dan Guru pada sekolah dan masjid-masjid. Para peserta didik bebas memilih ilmu
yang akan di pelajarinya serta guru yang akan mengajarkannya inilah salah satu ciri
khas guru masa klasik yang tidak memaksakan kehendaknya untuk mendidik
muridnya. Guru pada masa klasik pula dikenal dengan teacher centred oriented
karena tidak hanya transfering of knowledge melainkan juga merencanakan
apa yang akan di pelajari oleh perserta didiknya, dan inilah ciri khas lain
dari guru masa klasik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
Imam, Ihya ‘Ulumuddin, (CV Bintang Pelajar, Tanpa Tahun dan Tanpa Tempat
Terbit).
‘As’ad, Aliy, Ta’limul Muta’allim (Terj), Kudus :
Menara Kudus, 2007.
Asrohah, Hanun, Sejarah
Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, Cet Pertama, 1999.
Direktorat
Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Undang-Undang
dan Peraturan Pemerinth Republik Indonesia Tentang Pendidikan, 2006.
M. Echols, John,
dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia, Cet Ke
XXIV, 2000.
Nata, Abudin, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan
Pertengahan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Poerdarminta,
W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, Cet Ke 12, 1991.
Roqib,
Moh, Ilmu Pendidikan Islam,
Pengembangan Pendidikan Integrative
di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta : LKIS, 2009.
Salabi, Ahmad, Sedjarah
Pendidikan Islam (Terj), Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
[1] Makalah
Dipresentasikan dalam Diskusi Kelas Pada Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
pada Hari Sabtu , Tanggal 10 Desember 2011
di Jurusan Pendidikan Agama Islam Program Pasca Sarjana IAIN SMH Banten.
[2] Moh Roqib, Ilmu
Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta : LKIS, 2009. P.36
[3]Direktorat
Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pendidikan, Bab XI Pasal 39,
2006, P. 27
[5] W.J.S
Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,
1991, Cet Ke 12, P. 250.
[6]
John M Echols
dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia, Cet Ke
XXIV, 2000. P.581
[8]
ibid
[9]
Imam
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (CV Bintang Pelajar, Tanpa Tahun dan Tanpa
Tempat Terbit), p.179.
[10]
Aliy ‘As’ad, Ta’limul
Muta’allim (Terj), Kudus : Menara Kudus, 2007. P.26-27
[11]
Ahmad Salabi, Sedjarah
Pendidikan Islam (Terj), Jakarta : Bulan Bintang, 1973. P. 208-209.
[12]
Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2004. P.146. Lihat pula Ahmad Salabi., p. 210
[15] Ibid,
Ahmad Salabi. P.196-197
[16] Op. cit,
Abudin Nata, P. 148
[17] Hanun Asrohah,
Sejarah Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, Cet Pertama, 1999. P.85.
[18] Op. Cit,
Abudin Nata, p.149
[19] Ibid., P.151.
[20] Op. Cit.,
Ahmad Salabi p. 277