Jumat, 02 Desember 2011

GURU MASA KLASIK


GURU MASA KLASIK
(Hakikat dan Analisa Sosial Guru Masa Klasik)
Oleh : Wardtul Ilmiah[1]

A.    PENDAHULUAN
            Guru merupakan salah satu tombak dalam keberlangsungan proses belajar mengajar, aktifitas belajar mengajar tidak mungkin berlangsung secara sempurna tanpa kehadirannya. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa itulah pepatah mengatakan. Peran penting seorang guru dalam proses belajar mengajar menjadikannya disegani dan di ta’dzimi oleh para peserta didiknya, bukan hanya itu segala petuah dan tingkahlakunya merupakan cerminan bagi semua peserta didiknya karena keagungan dan sikap berwibawa yang selalu diaplikasikannya, meski dengan imbalan yang sangat tidak memuaskan bahkan terkadang tidak sama sekali, namun tidak membuat goyah hati nurani seorang guru untuk tetap mentransformasikan ilmu pengetahuan demi memberantas kebodohan dan dengan niat tulus untuk mendidik dan mengajar peserta didiknya, kondisi inilah yang tergambar saat itu sehingga jarang sekali yang berminat untuk menekuni profesi ini.
            Guru memiliki peranan penting dalam proses belajar mengajar selain sebagai Transformer Of Knowledge, fasilitator, guru pun dituntut untuk menyesuaikan sikap dan kepribadiannya dimata masyarakat terutama di mata peserta didiknya, karena bagaimanapun sosok guru masih tercermin dengan sikap yang di gugu dan ditiru, baik dalam segi sikap maupun tutur katanya, dan oleh sebab itulah dari dulu hingga sekarang factor kepribadian guru merupakan salah satu kompetensi yang harus dimilikinya. Peran penting seorang guru dalam mencetak peserta didiknya sesuai dengan tujuan hidupnya merupakan salah satu tugas utama bagi seorang guru. 
            Seiring berjalannya waktu, kharismatik seorang guru mengalami pergeseran nilai, profesi ini kini banyak diminati oleh masyarakat luas, bahkan menjadi salah satu primdona dengan segala fasilitas dan penunjang yang diperuntukkan bagi guru, padahal dulu profesi ini sangatlah jarang diminati oleh masyarakat.
            Pola Rekrutmen guru bukan lagi berdasarkan keahlian yang mereka miliki, apalagi memperhatikan kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru. ini berdampak dalam berjalannya proses belajar mengajar, parahnya pendidikan kini banyak dicemari oleh oknum-oknum yang seharusnya tidak menduduki jabatan tersebut, hanya demi kepulan asap dapur semata, tanpa mereka sadari akan merusak generasi bangsa mendatang.
            Dampaknya, berapa banyak kasus yang kita saksikan dalam dunia pendidikan yang melibatkan oknum guru, dari kasus narkoba, pencabulan di dalam dan di luar sekolah, hingga menjual anak didiknya sendiri. Pantaskah iadisebut sebagai guru ? pantaskah ia menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang harus digugu dan di tiru?
            Dari pemaparan di atas, dalam makalah ini penulis akan mendeskripsikan bagaimana hakikat guru dengan segala tugas yang diembannya dengan mencontoh kepada guru masa klasik dan melandaskan kepada Al-Qur’anul Kariem, dengan harapan pendidikan zaman sekarang khususnya yang panulis soroti dari segi pendidik bisa menjadi pendidik sejati dengan kompetensi yang dimilikinya, dan kecerdasan serta keterampilan dan kepribadian seorang guru yang sesungguhnya, bukan menjadikan profesi guru sebgai sarana pencari nafkah semata. Materi  memang penting, semuanya membutuhkan materi, tapi materi bukanlah segala-galanya.  

B.     Hakikat Guru
1.      Pengertian Guru
Dalam dunia pendidikan, pihak yang melakukan tugas-tugas mendidik dikenal dengan dua predikat, yakni pendidik dan guru. Pendidik (murabbi) adalah orang yang berperan mendidik subjek didik atau melakukan tugas pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melakukan tugas mengajar (ta’lim).[2] Dalam UU SISDIKNAS, pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.[3] Masih dalam UU Sisdiknas No 29 tahun 2003, di jelaskan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyasuara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.[4] Secara bahasa pendidik adalah orang yang mendidik.[5] Dalam bahasa inggris di sebut dengan teacher[6] artinya guru, pengajar.
2.      Kompetensi Mengajar Guru
Sebelum kita membahas guru masa klasik kita fahami terlebih dahulu batasan masa klasik tersebut, para penulis barat mengidentikan masa klasik dengan masa kegelapan; sementara para penulis muslim mengidentikannya dengan masa keemasan, maka untuk mempertegas batasan tersebut sesuai dengan pandangan Harun Nasution bahwa periode klasik di mulai pada tahun 650 hingga 1250 M yaitu sejak Islam lahir hingga kehancuran Baghdad. Secara garis besar penulis menggambarkan kriteria guru pada masa Islam klasik dengan mengambil pendapat para filosof Islam yang hidup antara tahun 650 hingga 1250 M, atau yang biasa disebut masa keemasan Islam hingga runtuhnya Baghdad.[7]
1)      Kompetensi Guru Menurut Ibnu Sina
Ibnu Sina memberikan konsep guru berkisar tentang guru yang baik, dalam hal ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik harus mempunyai kriteria sebagai berikut :
Guru haruslah berakal cerdas, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, dan suci dari murni. Lebih jauh Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat, menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam mendidik anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati. Selain itu guru juga harus lebih mengutamakan kepentingan umat dari pada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari orang-orang yang berakhlak rendah, sopan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.[8]
Jika diperhatikan secara seksama, Ibnu Sina menggambarkan guru sebagai potret tauladan yang menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar dan juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia akan dapat membina mental dan akhlak anak.
2)      Kompetensi Guru Menurut Ibnu Maskawih
Ibnu Miskawih menempatkan guru sejajar dengan Nabi, terutama dalam hal cinta kasih, cinta kasih terhadap pendidik menempati urutan kedua setelah cinta kasih terhadap Allah. Sementara guru yang dimaskud oleh Ibnu Maskawih bukan sekedar guru formal karena jabatan, guru biasa adalah guru yang memiliki persyaratan anatara lain : bisa dipercaya, pandai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, selain itu ia juga harus menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
3)      Kompetensi Guru Menurut Imam Al-Ghazali
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin di terangkan seorang guru haruslah memiliki kriteria sebagai berikut :
a)      Belas kasih kepada para pelajar dan hendaklah memperlakukan mereka seperti anak-anaknya sendiri.
b)      Hendaknya pengajar mengikuti pemilik syara’ Muhammad SAW, sehingga ia mengajarkan ilmu bukan untuk mencari upah dan tidak memaksudkannya untuk mencari balasan, tidak pula supaya dipuji, melainkan ia mengajar demi mengharapkan ridho Allah Ta’ala dan agar bisa mendekatkan diri kepada-Nya.
c)      Hendaklah pengajar tidak membiarkan sedikitpun dari membaguskan pelajar. Yaitu dengan mencegahnya dari menempatkan diri pada satu martabat sebelum masanya dan menekuni ilmunya yang tersembunyi, sebelum selesai dari ilmu yang nyata. Kemudian pengajar mengingatkan pelajar, bahwa tujuan menuntut ilmu, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, bukan untuk mencari kedudukan, kebanggaan dan bermegah-megah.
d)     Tugas ini termasuk lembutnya peraturan mengajar, yaitu pengajar hendaknya mencegah pelajar dari buruknya akhlak, sedapat mungkin dengan cara menyindir, tidak terang-terangan dan dengan cara belas kasih, bukan dengan cara menjelek-jelekan. Sebab, menerangkan buruknya akhlak itu membuka rahasia diri dan menyebabkan berani melawan pengajar, serta membangunkan keinginan untuk tetap pada akhlak yang buruk itu. [9]

4)      Kompetensi Guru Menurut Imam Abu Hanifah
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim Imam Abu Hanifah menyarankan agar memilih guru dengan melihat yang lebih alim, lebih waro, lebih berusia, santun, dan penyabar di setiap urusan.[10]

C.    PRANATA SOSIAL GURU
            Di lihat dari kedudukan social dan penghasilan guru pada masa islam klasik di kategorikan kepada tiga golongan :
1.      Guru Sekolah Taman Kanak-Kanak (Mu’allim Kuttab)
            Muallim kuttab, merupakan guru yang berstratifikasi social paling rendah dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini di sebabkan banyaknya tingkahlaku mereka yang di pandang rendah di mata masyarakat, di antaranya :
Ø  Ketika seorang anak membaca Al-Qur’an dan sampai pada kalimat, wainna ‘alaika la’nata, anak tersebut mengulang-ulang bacaannya sambil melihat ke wajah gurunya, kemudian gururnya tersebut marah dan berkata wainna ‘alaika la’nata wa ‘ala walidaika, kemudian anak itu berkara didalam kitabku Cuma ada wainna ‘alaika la’nata,apakah guru menginginkan ku untuk membaca ‘alaika la’nata wa’ala walidaika.
Ø  Pada suatu waktu ada juga mu’allim kuttab tersebut membacakan ayat ghulibatirrumu fi adnal ardi, tetapi dengan sengaja beliau membacanya ghulibatit turki, para orangtua murid berusaha membenarkannya tetapi mu’allim tersebut berargumen itu tidak penting Rumawi dan Turki sama saja kedua-dunya musuh kita.
Ø  Pada suatu waktu juga muallim mengajarkan kepada seorang anak dengan menggabungkan ayat-ayat sebagai berikut :
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã
 Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Qs Lukman :13)
tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw óÈÝÁø)s? x8$tƒöäâ #n?tã y7Ï?uq÷zÎ) (#rßÅ3uŠsù y7s9 #´øŠx. ( ¨bÎ) z`»sÜø¤±9$# Ç`»|¡SM~Ï9 Arßtã
 ÑúüÎ7B 
Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."(QS.Yusuf :5)
ßÏ.r&ur #Yøx. ÇÊÏÈ   È@ÎdgyJsù tûï͍Ïÿ»s3ø9$# öNßgù=ÎgøBr& #J÷ƒurâ ÇÊÐÈ  
Dan akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu Yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar. (QS: At Thariq : 16-17)

Ayat tersebut di gabung-gabungkan dengan surat yang lain, mendengar semua itu orang-orang di sekelilingnya merasa terkejut seraya berkata, ada apa ini ? akan tetapi mu’allim tersebut berkata habis bagaimana orangtua dari murid ini selalu terlambat membayar spp sehingga bulan yang satu bergabung dengan bulan yang lainnya, maka aku gabung saja ayat-ayat tersebut agar anak ini tidak mendapat apa-apa sebagaimana aku juga demikian tidak mendapat apa-apa.[11]
            Di kota Palermo terdapat kurang lebih 300 orang guru mu’llim kuttab yang kebanyakan diantara mereka menderita sakit sawan, ceroboh dan bodoh.[12] Inilah factor lain yang melahirkan image kurang baik di mata masyarakat. Namun demikian tidak semua mu’allim kuttab ceroboh dan bodoh, ada sebagian mereka yang ahli dalam bidang sastra, ahli khat dan fuqaha, mereka inilah golongan mu’allim kuttab yang di segani dan di hargai, di antaranya Kuwait Ibnu Zaid, Abdul Hamid Al-Katib, Qais Ibnu Sa’ad Husain Al-Mu’allim dan Ali Sa’id Al-Mu’allim.
            Sebenarnya masih banyak lagi fenomena-fenomena yang menyebabkan rendahnya para mu’allim kuttab di mata masyarakat. Melihat fenomena di atas merupakan salah satu penyebab rendahnya status social mereka di mata masyarakat, karena ketidak profesionalan mu’allim kuttab, membuat masyarakat memandang rendah meskipun kedudukan mereka adalah sebagai seorang guru.
            Di samping itu, taraf ekonomi mu’allim kuttab pun sangat rendah, hal ini merupakan sebuah dampak dari paradigma masyarakat setempat karena mu’allim kuttab mengajarkan Al-Qur’an dan dasar-dasar agama, maka di harapkan mereka pun mengikuti ulama sebelumnya yakni tidak memerima upah dari mengajarkan Al-Qur’an, atau setidaknya mereka di tuntut untuk bersikap zuhud menerima  apa adanya.






2.      Pendidik Putera-Putera Pembesar (Muaddib)
            Berbeda dengan mu’allim kuttab yang peserta didiknya adalah anak-anaka usia TK dan SD sedangkan muaddib mengajarkan putra raja yang beranjak dewasa, pekerjaan ini banyak di gemari masyarakat pada masa itu, karena status social mereka pun menjadi tinggi dengan menjadi mu’addib. Ada persyaratan khusus bagi mu’addib, yakni keilmuan yang memadai, adabnya dan berakhlak mulia. Menjadi mu’addib bagi putra-putra raja adalah  suatau pekerjaan yang terhormat yang mendatangkan keuntungan moril dan materil bagi orang-orang yang melakukannya, karena mereka di pandang sebagai pembimbing raja dan pemelihara kerajaan.
            Perhatian para raja terhadap muaddib karena sesuai dengan tugas mereka mendidik dan membimbing putra mahkota, menjadikan status social mereka tinggi di mata masyarakat, bahkan terkadang nama muaddib di sandangkan atau di tambahkan dengan gelar keturunan kerajaan. Memang tidak semua orang berminat untuk menjadi mu’addib dengan alasan takut tergiur dengan materi duniawi (zuhud dan wara) seperti Al-Chalil Ibnu Ahmad. Diantara muaddib yang terkenal adalah Adlahhak Ibnu Muzahim ‘Amir Asy-Sjabi (pendidik putra-putra Khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan), Muhammad Ibnu Muslim Az Zuhri (pendidik Ibnu Hisyam Ibnu ‘Abdil Malik), Abdus Shomad Ibnu ’Abdil A’la (pendidik Al-Walid Ibnu Zaid), dan masih banyak lagi.[13]
            Taraf ekonomi muaddib sangatlah makmur dan tercukupi baik bagi dirinya maupun untuk menopang keluarganya selain gaji pokok yang di terimanaya muaddib juga banyak yang diberikan tempat tinggal, bintang ternak, pelayan, budak dan lain sebagainya sehingga taraf ekonominya terjamin dan terpenuhi, menurut riwayat yang ada rata-rata gaji muaddib sebulannya itu berjumlah seribu dirham.

3.      Guru-Guru di Madrasah-Madrasah dan di Masjid-masjid
            Sama halnya dengan muaddib, guru-guru di madrasah-madrasah dan masjid-masjid juga mendapatkan penghormatan yang tinggi di mata masyarakat, karena guru merupkan lampu penerang bagi masyarakat setempat, kedudukan ulama ibarat lampu penyinar bagi kerajaan, bahkan Abdul Aswad Ad Duali pernah berkata tidak ada sesuatu apapun yang lebih mulia dari ilmu pngetahuan, raja-raja adalah penguasa atas rakyat dan ulama adalah penguasa atas raja-raja. [14] Masih banyak lagi riwayat yang menerangkan tingginya kedudukan para guru dan ulama di mata masyarakat. Riwayat-riwayat yang digambarkan menunjukkan betapa tingginya kedudukan para ulama di hati masyarkat luas pada masa itu.
            Taraf ekonomi para guru di sekolah atau madrasah sangtlah makmur, mereka telah menikmati taraf keuangan yang menyenangkan karena para khalifah, sulthan dan  pembesar sangatlah memperhatikan segala kebutuhan mereka, dan bantuan bantuan dari para khalifah pun tidak putus-putus sehingga mereka hidup dalam kemakmuran. Penghargaan terhadap ilmu pengetahuan sangatlah meningkat sehingga membuat para ulama menikmati hasil jerih payah mereka dengan bayaran yang sangat mahal, seperti halnya Al-Djahiz yang dulunya hanyalah seorang penjual roti akan tetapi berkat keilmuannya beliau mendapatkan uang dari kitab-kitab yang di berikannya pada para khalifah, seperti Kitabul Hajawan yang diberikan kepada Khalifah Muhammad Ibnu Abdil Malik dan di berikan uang darinya sebesar lima ribu dinar, kitab Al-Bayan Wa Tabyin yang di berikan pada khalifah Ibnu Abi Daud dan mendapatkan uang darinya lima ribu dinar, dan kitab Azzar’u Wa Nahl kepada Ibrahim Ibnu Abbas Assuli dan mendapatkan uang darinya lima ribu dinar.
            Pada masa daulah fathimiyyah gaji guru sangatlah tinggi, berikut tabel daftar gaji guru dan pejabat Negara :
No
Jabatan
Gaji per bulan
1
Menteri
5000 Dinar
2
Anak Menteri
200-300 Dinar
3
Sekretaris Ad Das Asyarif
150 Dinar
4
Ajudan (Protocol)
120 Dinar
5
Qadil Al-Qudlah
100 Dinar
6
Da’I Ad Du’ah
100 Dinar
7
Guru-Guru
100 Dinar
8
Kepala Baitul Mal
100 Dinar
9
Hamil Arrisalah (Deputi)
100 Dinar
10
Pemimpin Arsip
100 Dinar
11
Penyimpan Pedang
70 Dinar
12
Penyimpan Tombak
70 Dinar
13
Kepala Dewan Pertimbangan
70 Dinar
14
Dokter Pribadi
50 Dinar
15
Kepala Dewan Peneliti
50 Dinar
16
Kepala Dewan Majlis
50 Dinar
17
Khatib Masjid
10-20 Dinar
18
Penyair Khalifah
10-20 Dinar
19
Dokter Istana
10 Dinar


D.    PERANAN GURU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Peranan guru dalam kehidupan masyarakat sangatlah erat, karena bagaimanapun juga sebagai seorang pendidik di sekolah guru juga merupakan salah satu bagian dari masyarakat, guru adalah makhluk social yang selalu berinteraksi dengan masyarakat dimana ia tinggal, maka salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru adalah kompetensi social disamping kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, dan kompetensi professional. Keberadaan seorang guru di tengah masyarakat sangatlah dominan, karena paradigma yang berkembang pada masa itu sangatlah  menomorsatukan peranan guru dalam pembelajaran, salah seorang dari mereka pernah berkata “kebodohan yang terbesar adalah mengangkat lembaran-lembaran buku sebagai syekh,maksudnya belajar tanpa guru, juga disebut dalam kitab Asj-Skwa , bahwa “siapa yang tidak mempunyai syeikh berarti ia tidak beragama, dan siapa yang tidak mempnyai ustad berarti ia beriman kepada setan.[15]
Ciri utama guru pada masa ini adalah pentingnya peranan individu guru,[16] karena guru yang alim dan terkenal lebih dominan dari pada lmbaga pendidikan yang formal. Guru yang semacam ini banyak menarik perhatian masyarakat setempat, bahkan masyarakat yang jauh pun senantiasa datang untuk duduk mendengarkan ilmu yang disampaikan oleh guru-guru tersebut. Terlebih guru yang telah memperlajari hadits dan membangun sistim teologi serta hukum yang berlaku dikalangan mereka.


Guru pada masa klasik terkenal dengan system pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centred oriented), bukan instution oriented[17] karena selain mengajarkan ilmu, para guru juga menentukan perencanaan sampai pada pengaplikasian proses belajar mengajar. Jadi bukan institusi yang mengharuskan muridnya belajar pada guru yang telah di tentukan melainkan sebaliknya murid yang memilih guru tersebut sesui dengan kehendak mereka yang dan yang mereka anggap mampu untuk mengajarkannya. Hal ini senada yang di paparkan oleh Syeikh Az-Zarnuji dalam kitabnya ta’lim muta’lim, yakni sebelum belajar hendaknya memilih gurunya terlebih dahulu, hal ini di maksudkan agar ketika pembelajaran di mulai tidak ada rasa menyesal kemudian pindah ke lain guru, karena hal ini akan menyakiti hatinya.
Secara sosioligis guru mempunyai peranan penting pada masyarakat sekitar, meskipun guru tidak membatasi sampai kapan harus belajar dengannya akan tetapi bukan berarti melepaskan begitu saja murid-muridnya dalam bermasyarakat. Para guru memantau perkembangan dan pergaulan murid-muridnya tersebut, sampai ketika para murid tersebut mendapatkan ijazah, yakni sebuah tradisi yang diberikan guru kepada muridnya sebagai tanda selesainya satu ilmu atau satu kitab yang di kuasainya, yang kemudian dengan ijazah tersebut murid bisa mengajarkan ilmu yang ia peroleh dari guru tersebut kepada yang lainnya. Tradisi ijazah pertama kali ada dalam sejarah pendidikan islam  pada bulan Shafar tahun 304 Hijriyah, yang diberikan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Ja’fr Al-Himyari kepada Abu Amir Sa’id Ibnu ‘Amr, karena telah selesai menyelesaikan kitab Qurbul Isnad.[18]
Menurit Hasan Hafidz secara umum peranan guru menjadi dua yakni sebagai murabbi dan penggerak masyarakat. Sebagai murabbi ia mempunyai tanggung jawab menjaga kepribadian anak dan mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Sedangkan sebagai penggerak masyarakat, ia memiliki kewajiban untuk memberikan layanan kepada masyarakat dengan baik, membangkitkannya dan mengangkatnya ke peradaban yang lebih maju.[19]
E.     ORGANISASI GURU PADA MASA KLASIK
            Organisasi yang terkenal pada masa klasik dan pertengahan adalah Syarikat Guru[20], yakni sebuah organisasi yang menghimpun para guru dan mengatur kepentingan-kepentingan para guru tersebut. Peranan organisasi ini sangtlah penting, karena selain sebagai sarana untuk mengangkat guru baru yang sekiranya sedah mencukupi dan mumpuni untuk menjadi seorang guru, yang mana hal ini tidak ada cmpur tangan pemerintah.
            Bukan hanya di kalangan guru, organisasi guru ini juga berperan dalam pemerintah setempat, dengan adanya guru maka ilmu pengetahuan bisa menyebar luas dan ini sangat membantu program pemerintah, tidak hanya itu, ketika penguasa memiliki suatu aliran dan pemahaman  yang di yakini pemerintah saat itu para guru embantu untuk memberikan pemahamab dan pengajaran pada masyarakat setempat, hal ini tentu menjadi sebuah kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak (mutualisme). Bukan hanya pemerintah yang di untungkan dengan keberadaan guru, guru pun mereasa terbantu dengan pemerintah tersebut.

F.     KESIMPULAN
                        Dari pemaparan di atas dapatlah di tarik sebuah kesimpulan bahwasanya guru pada masa klasik dan pertengahan merupakan idola bagi masyarakat setempat dan bagi pemerintah karena selain sebagai penyiar ilmu pengetahuan juga sebagai dinamisator bagi masyarakat setempat, keberadaan guru dalam masyarakat bagaikan cahaya di tengah redupnya malam, ilmu yang di ajarkannya menerangi langkah dan pemikiran masyarakat, sehingga tidak heran guru yang berkompeten terangkat derajatnya. Hal ini seesui dengan firman Allah yang artinya “Allah akan mengangkat derajat aorang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa darajat”.
                        Guru pada masa klasik terdapat tiga golongan, yakni Mu’allim Kuttab, Muaddib dan Guru pada sekolah dan masjid-masjid. Para peserta didik bebas memilih ilmu yang akan di pelajarinya serta guru yang akan mengajarkannya inilah salah satu ciri khas guru masa klasik yang tidak memaksakan kehendaknya untuk mendidik muridnya. Guru pada masa klasik pula dikenal dengan teacher centred oriented karena tidak hanya transfering of knowledge melainkan juga merencanakan apa yang akan di pelajari oleh perserta didiknya, dan inilah ciri khas lain dari guru masa klasik.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam, Ihya ‘Ulumuddin, (CV Bintang Pelajar, Tanpa Tahun dan Tanpa Tempat Terbit).
              ‘As’ad, Aliy,  Ta’limul Muta’allim (Terj), Kudus : Menara Kudus, 2007.
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, Cet Pertama, 1999.
Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Undang-Undang dan Peraturan Pemerinth Republik Indonesia Tentang Pendidikan, 2006.
M. Echols, John, dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia, Cet Ke XXIV, 2000.
Nata, Abudin, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Poerdarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,  Cet Ke 12, 1991.
Roqib, Moh,  Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integrative
di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta : LKIS, 2009.
            Salabi, Ahmad, Sedjarah Pendidikan Islam (Terj), Jakarta : Bulan Bintang, 1973.




[1] Makalah Dipresentasikan dalam Diskusi Kelas Pada Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam pada Hari Sabtu , Tanggal 10 Desember  2011 di Jurusan Pendidikan Agama Islam Program Pasca Sarjana IAIN SMH Banten.
[2] Moh Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta : LKIS, 2009. P.36
[3]Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pendidikan, Bab XI Pasal 39, 2006, P. 27
[4] Ibid, Bab I Pasal I Poin 6.
[5] W.J.S Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1991, Cet Ke 12, P. 250.
[6] John M Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia, Cet Ke XXIV, 2000. P.581
[8] ibid
[9] Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (CV Bintang Pelajar, Tanpa Tahun dan Tanpa Tempat Terbit), p.179.
[10] Aliy ‘As’ad, Ta’limul Muta’allim (Terj), Kudus : Menara Kudus, 2007. P.26-27
[11] Ahmad Salabi, Sedjarah Pendidikan Islam (Terj), Jakarta : Bulan Bintang, 1973. P. 208-209.
[12] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004. P.146. Lihat pula Ahmad Salabi., p. 210
[13] Ibid, Ahmad Salabi, P. 215-216.
[14] Ibid, Ahmad Salabi, P. 217-222.
[15] Ibid, Ahmad Salabi. P.196-197
[16] Op. cit, Abudin Nata, P. 148
[17] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, Cet Pertama, 1999. P.85.
[18] Op. Cit, Abudin Nata, p.149
[19] Ibid., P.151.
[20] Op. Cit., Ahmad Salabi p. 277